Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, jika membahas upaya pengendalian penyakit tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Kulon Progo tentu tidak terlepas dari sosok dr. Baning Rahayujati. Wanita yang kini menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kulon Progo sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid. P2P), bidang yang membawahi langsung upaya pengendalian TBC.

Berkecimpung dalam upaya penanggulangan TBC bukan hal baru baginya. Sejak 1994 saat masih bertugas di puskesmas, ia telah aktif dalam pelayanan TBC. Saat itu, meski menganut sistem passive case finding, tiap puskesmas ditargetkan untuk mengumpulkan pemeriksaan dahak tiap pekan. Karena itu, pengunjung yang datang ke puskesmas dianamnesis dengan tanda dan gejala TBC. Jika ditemukan, maka pengunjung tersebut akan diminta untuk melakukan uji dahak.

Lebih lanjut dr. Baning mengatakan bahwa TBC masih menjadi masalah utama di Indonesia. Meski telah ditemukan sejak lama, upaya-upaya penanggulangannya juga sudah maksimal, namun masih belum berhasil terselesaikan. “Jadi harus diprioritaskan, terutama di tengah kemunculan penyakit-penyakit lainnya,” jelas dr. Baning. Hal tersebut untuk mengurangi beban permasalahan kesehatan agar menjadi lebih ringan.

Jika diurai, setidaknya ada tiga hal yang menurutnya menjadi hambatan dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia. Pertama, kesadaran masyarakat yang masih kurang. Masih ada anggapan bahwa TBC adalah batuk biasa jika tidak timbul gejala yang parah. Mengakses layanan kesehatan baru akan dilakukan setelah timbul keparahan. Kedua, jika dibandingkan dengan penyakit lain, penyedia layanan kesehatan belum ‘senyatanya’ menganggap TBC sebagai prioritas. Hal ini ditambah lagi dengan kekurang-mampuan sektor kesehatan melibatkan lintas sektor dalam penanganannya. Ketiga, dari sisi penyakitnya, diagnosis TBC bukan sesuatu yang mudah. Pun dengan tata laksananya yang masih terlalu panjang.

Karenanya, saat menjabat sebagai Kabid. P2P, ia fokus menjalankan program-program yang dapat menanggulangi tiga hal di atas. Tentu saja acuan utamanya adalah pedoman penanggulangan TBC yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Menginisiasi “Geblek Tempe”

Sejatinya Geblek Tempe adalah nama makanan khas Kulon Progo. Keduanya menjadi makanan khas yang sayang untuk dilewatkankalau berkunjung ke Kulon Progo. Namun dalam konteks penanggulangan TBC di Kulon Progo, Geblek Tempe adalah program penanggulangan TBC yang diluncurkan oleh Dinkes Kabupaten Kulon Progo pada 2018 untuk memperingati hari tuberkulosis sedunia (HTBS) tahun itu. Kepanjangannya adalah Gerakan Bersama Peduli Penyakit TBC di Sekitar Masyarakat Kape (Kulon Progo). “Namanya memang terkesan seperti dipaksakan,” jelas dr. Baning. Hal tersebut ia tujukan agar mudah diingat oleh masyarakat yang akan ia ajak untuk terlibat.

Terdapat enam langkah yang disosialisasikan dalam program ini, yaitu: beri vaksin BCG pada bayi, periksa keluarga dan tetangga penderita, berhenti merokok, jaga kebersihan, jaga jendela terbuka, dan minum obat sampai tuntas. Adapun dalam pelaksanaan enam langkah tersebut, dr. Baning menekankan pentingnya pelibatan masyarakat. Secara khusus pihaknya melibatkan kader posyandu untuk turut serta menemukan kasus TBC. Tak hanya kader lama, kader baru juga direkrut agar upaya lebih optimal.

Dalam rangka menunjang ketugasan tersebut, pihaknya bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan kapasitas kader melalui pelatihan. Materi pelatihan meliputi pengetahuan tentang tanda dan gejala TBC untuk menentukan siapa siapa saja yang harus dirujuk. Setelah kasus ditemukan, ketugasan berikutnya adalah sebagai pendamping minum obat (PMO). Karenanya, mereka juga dibekali pengetahuan tentang efek samping obat dan risiko yang akan dihadapi jika putus berobat.

Pelaksanaan program ini pun membuahkan hasil. Diperoleh peningkatan angka terduga TBC. Salah satu kunci keberhasilannya adalah dengan meningkatkan kesadaran bersama bahwa TBC adalah masalah bersama dan hanya bisa diselesaikan secara bersama-sama. Kunci lainnya adalah dengan memanfaatkan sebagian besar wilayah Kabupaten Kulon Progo yang masih berupa pedesaan dengan kultur paternal yang kental. Jadi, program-program pemerintah akan sangat didukung selama pendampingan dilakukan secara memadai.

Meski demikian, upaya penemuan kasus secara aktif dengan melibatkan kader ini belum mengantarkan Dinkes Kulon Progo mencapai target temuan kasus yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. “Saya jadi galau. Target belum tercapai meski telah melakukan berbagai upaya,” ungkap dr. Baning. Karenanya, ia sangat senang menyambut rencana Zero TB Yogyakarta untuk berkegiatan di wilayahnya.

Evidence Based Project

Keberhasilan suatu program dapat dinilai dari capaian targetnya. Suatu hal yang sangat disayangkan jika target gagal dicapai meski telah melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Rasa penasaran menghinggapi benak dr. Baning ketika pihaknya tak pernah mencapai target temuan kasus yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Apakah pihaknya yang masih kurang menjalankan program, atau target yang dibebankan terlalu tinggi?

Rasa penasaran tersebut pernah ia ungkapkan langsung di hadapan Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi yang dilakukan saat Menkes mengunjungi ACF yang dilaksanakan oleh Zero TB Yogyakarta. “Zero TB Yogyakarta ini jadi evidence based yang kuat, jangan-jangan target kami terlalu tinggi,” ungkapnya.

Kegiatan penemuan kasus TBC secara aktif (active case finding – ACF) tersebut merupakan salah satu kegiatan Zero TB Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo. ACF dilakukan dengan menghadirkan bus Rontgen untuk memeriksa masyarakat secara gratis. Kegiatan lainnya adalah investigasi kontak (IK) dengan mengunjungi pasien rumah pasien TBC untuk memeriksa seluruh kontak serumahnya. Selain itu Zero TB Yogyakarta juga melakukan pemberdayaan kader posyandu dan kader muda untuk terlibat dalam upaya penanggulangan TBC di lingkungannya.

Kegiatan-kegiatan Zero TB Yogyakarta tersebut telah membuahkan hasil. Selama pandemi COVID-19, saat capaian beberapa program Dinkes Kulon progo menurun, temuan terduga TBC justru meningkat. Meski demikian, target temuan kasus terkonfirmasi bakteriologis belum tercapai. Padahal dr. Baning merasa upaya yang dilakukan oleh Zero TB Yogyakarta telah maksimal. “Sudah maksimal dengan melibatkan semua lini,” ungkap dr. Baning.

Namun, Zero TB Yogyakarta merupakan proyek penelitian implementatif yang suatu saat akan ada akhirnya. Ia dan jajarannya tengah bersiap melanjutkan program pengendalian TBC seperti yang telah dilakukan oleh Zero TB Yogyakarta, meskipun tidak akan sama persis. Salah satu hal yang ia syukuri adalah peningkatan kapasitas tenaga kesehatan yang juga tak luput dari perhatian Zero TB Yogyakarta. Hal tersebut merupakan modal berharga untuk terus melakukan upaya eliminasi TBC di Kabupaten Kulon progo.

Pin It on Pinterest

Share This