TBC Bikin Kaki ‘Buntung’

TBC Bikin Kaki ‘Buntung’

Bagi Nita kecil, TBC itu penyakit yang bikin kaki ‘buntung’. Setidaknya itu yang tertanam dalam benak Yunita Khaerul, wanita yang kini menjabat sebagai kepala perawat ACF Zero TB Yogyakarta. Kesimpulan itu didapat dari pengalaman masa kecilnya terhadap tetangganya yang kata orang  mengidap TBC. Sepertinya tetangga Nita mengidap penyakit lain selain TBC, yang menyebabkan sebelah kakinya diamputasi secara bertahap. Awalnya, jari kaki. Selang beberapa lama diamputasi lagi sampai pergelangan kaki. Terakhir kali Nita melihat tetangganya, sebelah kakinya tinggal sebatas lutut.

Saat itu, tiap mau mengaji, Nita kecil dan teman-temannya harus melewati rumah orang yang sakit TBC tersebut. Nita dan teman-temannya akan menutup hidung dan mulut serta bergegas sesegera mungkin menjauh. Tindakan tersebut mereka tiru dari orang-orang lain yang melakukan hal yang sama. Jika ada orang-orang yang sedang santai di luar, mereka langsung menghindar jika si penderita TBC melintas atau sekedar keluar rumah.

Tanpa sadar, pengaruh lingkungan pada masa kecilnya telah membentuk stigma yang tertanam dalam benak Nita. TBC adalah penyakit yang bikin kaki ‘buntung’ dan akan dikucilkan masyarakat. Tidak tersedianya edukasi yang benar tentang TBC memperkuat stigma tersebut. Hingga saat Nita remaja dan mencari tahu sendiri informasi tentang TBC, ia tahu bahwa TBC tidak menyebabkan kaki ‘buntung’. Apalagi saat Nita menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) UGM, ia makin mendapatkan pencerahan. Namun siapa sangka, stigma yang ia takuti ternyata harus ia dan keluarganya alami.

Stigma TBC Masih Ada

Selepas kuliah, Nita menikah. Ia dipersunting lelaki Jogja. Wanita kelahiran Jakarta ini pun tinggal di Jogja. Suaminya mempunyai pekerjaan yang menuntutnya untuk bepergian keliling Indonesia. Suatu ketika sang suami mengalami batuk yang tak kunjung sembuh. Postur tubuhnya yang kurus membuat dokter mendiagnosisnya kurang gizi. Bahkan ada dokter yang mencurigai suaminya sebagai pemakai obat-obatan terlarang. Sempat berkunjung ke beberapa rumah sakit di Sumatera, tempatnya berdomisili saat itu, keluhannya tak kunjung membaik.

Saat pulang ke Jogja, Nita mendampinginya memeriksakan diri. Alangkah terkejutnya ketika dokter mendiagnosis suaminya menderita TBC dan harus menjalani pengobatan. Nita pun bergerak cepat untuk mengurus ijin agar suaminya bisa lebih lama tinggal di Jogja. Beruntung tempat kerjanya memberikan ijin hingga maksimal dua bulan. Nita ingin mendampingi suaminya saat menjalani pengobatan yang memakan waktu enam bulan. Apalagi Nita tahu ada efek samping pengobatan yang bisa jadi akan dialami suaminya.

Dugaan Nita pun terbukti. Awal pengobatan terasa berat karena suaminya mengalami efek samping berupa pusing, mual dan tidak nyaman sekujur badan. Nita memberinya semangat untuk menuntaskan pengobatan saat timbul niatan untuk berhenti. “Pantas saja banyak pasien yang putus berobat,” gumam Nita dalam hati. Support system dalam keluarga berperan sangat penting mendukung ketuntasan pasien berobat. Tak hanya dukungan, Nita juga meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat dalam rumahnya.

Suaminya memutuskan untuk mengambil obat di rumah sakit, bukan puskesmas. Ia khawatir jika mengambil obat di puskesmas, kasusnya akan dilaporkan ke aparat desa dan diketahui tetangganya yang berujung stigma. Stigma juga pernah dialami saat sudah masuk kerja, beredar informasi tentang penyakit yang dideritanya disertai anjuran untuk sedikit menjaga jarak.

Nita menyadari masih ada stigma TBC hingga saat ini. Sejak kecil, ia sudah menyaksikan stigma yang dialami oleh tetangganya. Pun saat ia aktif di sebuah non-goverment organization (NGO) yang bergerak di bidang pendampingan pasien TBC dan HIV. Bahkan saat ini, saat ia aktif di Zero TB Yogyakarta ia menyaksikan masih ada stigma di masyarakat.

Harus Tanggap dan Cekatan

Bukan karena paling senior di antara perawat-perawat lainnya Nita ditunjuk sebagai kepala perawat, namun karena ia dinilai cekatan dan mampu memastikan pelaksanaan kegiatan penemuan kasus TBC secara aktif (active case finding – ACF) di Kota Yogyakarta berjalan lancar. “Situasi di lapangan itu unpredictable, jadi musti tanggap,” ungkap Nita.

Banyak hal teknis yang kerap menjadi hambatan jika tidak segera diatasi. Misalnya jika ACF dilaksanakan di tempat yang harus dijangkau melewati gang-gang sempit khas perkotaan. Properti ACF yang diangkut menggunakan taksi online tidak bisa sampai di lokasi karena driver enggan melewati gang sempit. Ia harus mengkoordinasi sedemikian rupa agar properti tiba di lokasi dan siap digunakan pada waktunya. Mencari lokasi yang longgar dan ideal di Kota Yogyakarta juga bukan hal yang mudah. Jika mendapat lokasi yang sempit, ia dan tim harus memutar otak menata lokasi agar ACF dapat dilaksanakan dengan tetap menaati protokol kesehatan.

Sebagian besar peserta ACF di Kota Yogyakarta juga berasal dari kelompok usia produktif. Mereka musti menyisihkan waktu untuk mengikuti ACF di antara kesibukannya  bekerja. Beberapa hanya mendapatkan ijin singkat dari tempat kerjanya. Biasanya mereka akan minta didahulukan saat mengikuti alur pemeriksaan ACF. Nita harus bijak menghadapi mereka dan mencari solusi bersama yang tidak merugikan siapapun. Beberapa peserta pernah ia dahulukan dengan terlebih dulu meminta ijin kepada peserta lain karena memang alasan yang masuk akal. “Kalau misalnya anak sekolah yang buru-buru mau ujian, saya ijinin untuk didahulukan,” beber Nita.

Namun diakuinya kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi untuk memeriksakan diri. Dukungan dari pemangku kepentingan setempat juga memadai. ACF dapat terlaksana dengan lancar karena peran serta semua pihak. Pemangku kepentingan setempat yang menggerakkan warga, juga masyarakat yang hadir tepat waktu sesuai jadwal. Meski demikian masih ada beberapa warga yang enggan mengikuti pemeriksaan meski mereka termasuk kelompok rentan terkena TBC. Jika terjadi hal demikian, Nita akan bekerja sama dengan pemangku kepentingan untuk membujuk mereka agar mau memeriksakan diri.

Patut dicurigai keengganan masyarakat mengikuti pemeriksaan juga karena masih ada stigma di masyarakat. Terkait stigma ini Nita pernah mendapati peserta ACF yang dites tuberkulin dan harus dikunjungi rumahnya dua hari kemudian untuk dibaca hasilnya. Alih-alih mau dikunjungi rumahnya, ia meminta untuk bertemu di tempat lain karena khawatir tetangganya tahu jika dikunjungi petugas kesehatan.

Nita heran kenapa masih ada stigma TBC di tengah masyarakat. Sama herannya dengan kenapa TBC masih senantiasa menjadi permasalahan kesehatan di Indonesia meski program penanggulangannya telah dilaksanakan secara optimal. “Ini kan penyakit jaman baheula, tapi kenapa masih saja ada ya?” gundah Nita. Melalui Zero TB Yogyakarta ia ingin turut berkontribusi dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia.

Inisiator Program “Geblek Tempe”

Inisiator Program “Geblek Tempe”

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, jika membahas upaya pengendalian penyakit tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Kulon Progo tentu tidak terlepas dari sosok dr. Baning Rahayujati. Wanita yang kini menjabat sebagai Sekretaris Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kulon Progo sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Kabid. P2P), bidang yang membawahi langsung upaya pengendalian TBC.

Berkecimpung dalam upaya penanggulangan TBC bukan hal baru baginya. Sejak 1994 saat masih bertugas di puskesmas, ia telah aktif dalam pelayanan TBC. Saat itu, meski menganut sistem passive case finding, tiap puskesmas ditargetkan untuk mengumpulkan pemeriksaan dahak tiap pekan. Karena itu, pengunjung yang datang ke puskesmas dianamnesis dengan tanda dan gejala TBC. Jika ditemukan, maka pengunjung tersebut akan diminta untuk melakukan uji dahak.

Lebih lanjut dr. Baning mengatakan bahwa TBC masih menjadi masalah utama di Indonesia. Meski telah ditemukan sejak lama, upaya-upaya penanggulangannya juga sudah maksimal, namun masih belum berhasil terselesaikan. “Jadi harus diprioritaskan, terutama di tengah kemunculan penyakit-penyakit lainnya,” jelas dr. Baning. Hal tersebut untuk mengurangi beban permasalahan kesehatan agar menjadi lebih ringan.

Jika diurai, setidaknya ada tiga hal yang menurutnya menjadi hambatan dalam upaya eliminasi TBC di Indonesia. Pertama, kesadaran masyarakat yang masih kurang. Masih ada anggapan bahwa TBC adalah batuk biasa jika tidak timbul gejala yang parah. Mengakses layanan kesehatan baru akan dilakukan setelah timbul keparahan. Kedua, jika dibandingkan dengan penyakit lain, penyedia layanan kesehatan belum ‘senyatanya’ menganggap TBC sebagai prioritas. Hal ini ditambah lagi dengan kekurang-mampuan sektor kesehatan melibatkan lintas sektor dalam penanganannya. Ketiga, dari sisi penyakitnya, diagnosis TBC bukan sesuatu yang mudah. Pun dengan tata laksananya yang masih terlalu panjang.

Karenanya, saat menjabat sebagai Kabid. P2P, ia fokus menjalankan program-program yang dapat menanggulangi tiga hal di atas. Tentu saja acuan utamanya adalah pedoman penanggulangan TBC yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI.

Menginisiasi “Geblek Tempe”

Sejatinya Geblek Tempe adalah nama makanan khas Kulon Progo. Keduanya menjadi makanan khas yang sayang untuk dilewatkankalau berkunjung ke Kulon Progo. Namun dalam konteks penanggulangan TBC di Kulon Progo, Geblek Tempe adalah program penanggulangan TBC yang diluncurkan oleh Dinkes Kabupaten Kulon Progo pada 2018 untuk memperingati hari tuberkulosis sedunia (HTBS) tahun itu. Kepanjangannya adalah Gerakan Bersama Peduli Penyakit TBC di Sekitar Masyarakat Kape (Kulon Progo). “Namanya memang terkesan seperti dipaksakan,” jelas dr. Baning. Hal tersebut ia tujukan agar mudah diingat oleh masyarakat yang akan ia ajak untuk terlibat.

Terdapat enam langkah yang disosialisasikan dalam program ini, yaitu: beri vaksin BCG pada bayi, periksa keluarga dan tetangga penderita, berhenti merokok, jaga kebersihan, jaga jendela terbuka, dan minum obat sampai tuntas. Adapun dalam pelaksanaan enam langkah tersebut, dr. Baning menekankan pentingnya pelibatan masyarakat. Secara khusus pihaknya melibatkan kader posyandu untuk turut serta menemukan kasus TBC. Tak hanya kader lama, kader baru juga direkrut agar upaya lebih optimal.

Dalam rangka menunjang ketugasan tersebut, pihaknya bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat untuk meningkatkan kapasitas kader melalui pelatihan. Materi pelatihan meliputi pengetahuan tentang tanda dan gejala TBC untuk menentukan siapa siapa saja yang harus dirujuk. Setelah kasus ditemukan, ketugasan berikutnya adalah sebagai pendamping minum obat (PMO). Karenanya, mereka juga dibekali pengetahuan tentang efek samping obat dan risiko yang akan dihadapi jika putus berobat.

Pelaksanaan program ini pun membuahkan hasil. Diperoleh peningkatan angka terduga TBC. Salah satu kunci keberhasilannya adalah dengan meningkatkan kesadaran bersama bahwa TBC adalah masalah bersama dan hanya bisa diselesaikan secara bersama-sama. Kunci lainnya adalah dengan memanfaatkan sebagian besar wilayah Kabupaten Kulon Progo yang masih berupa pedesaan dengan kultur paternal yang kental. Jadi, program-program pemerintah akan sangat didukung selama pendampingan dilakukan secara memadai.

Meski demikian, upaya penemuan kasus secara aktif dengan melibatkan kader ini belum mengantarkan Dinkes Kulon Progo mencapai target temuan kasus yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. “Saya jadi galau. Target belum tercapai meski telah melakukan berbagai upaya,” ungkap dr. Baning. Karenanya, ia sangat senang menyambut rencana Zero TB Yogyakarta untuk berkegiatan di wilayahnya.

Evidence Based Project

Keberhasilan suatu program dapat dinilai dari capaian targetnya. Suatu hal yang sangat disayangkan jika target gagal dicapai meski telah melakukan berbagai upaya untuk mencapainya. Rasa penasaran menghinggapi benak dr. Baning ketika pihaknya tak pernah mencapai target temuan kasus yang ditetapkan Kementerian Kesehatan. Apakah pihaknya yang masih kurang menjalankan program, atau target yang dibebankan terlalu tinggi?

Rasa penasaran tersebut pernah ia ungkapkan langsung di hadapan Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin dalam diskusi yang dilakukan saat Menkes mengunjungi ACF yang dilaksanakan oleh Zero TB Yogyakarta. “Zero TB Yogyakarta ini jadi evidence based yang kuat, jangan-jangan target kami terlalu tinggi,” ungkapnya.

Kegiatan penemuan kasus TBC secara aktif (active case finding – ACF) tersebut merupakan salah satu kegiatan Zero TB Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo. ACF dilakukan dengan menghadirkan bus Rontgen untuk memeriksa masyarakat secara gratis. Kegiatan lainnya adalah investigasi kontak (IK) dengan mengunjungi pasien rumah pasien TBC untuk memeriksa seluruh kontak serumahnya. Selain itu Zero TB Yogyakarta juga melakukan pemberdayaan kader posyandu dan kader muda untuk terlibat dalam upaya penanggulangan TBC di lingkungannya.

Kegiatan-kegiatan Zero TB Yogyakarta tersebut telah membuahkan hasil. Selama pandemi COVID-19, saat capaian beberapa program Dinkes Kulon progo menurun, temuan terduga TBC justru meningkat. Meski demikian, target temuan kasus terkonfirmasi bakteriologis belum tercapai. Padahal dr. Baning merasa upaya yang dilakukan oleh Zero TB Yogyakarta telah maksimal. “Sudah maksimal dengan melibatkan semua lini,” ungkap dr. Baning.

Namun, Zero TB Yogyakarta merupakan proyek penelitian implementatif yang suatu saat akan ada akhirnya. Ia dan jajarannya tengah bersiap melanjutkan program pengendalian TBC seperti yang telah dilakukan oleh Zero TB Yogyakarta, meskipun tidak akan sama persis. Salah satu hal yang ia syukuri adalah peningkatan kapasitas tenaga kesehatan yang juga tak luput dari perhatian Zero TB Yogyakarta. Hal tersebut merupakan modal berharga untuk terus melakukan upaya eliminasi TBC di Kabupaten Kulon progo.

Cara Pemerintah Perang Melawan TBC

Cara Pemerintah Perang Melawan TBC

Merdeka.com – Sekitar 1,4 abad yang lalu, tepatnya 2 Maret 1882, Robert Koch mengumumkan dia telah menemukan bakteri penyebab tuberculosis (TB/TBC).

Robert Koch, dokter dan ahli biologi asal Jerman itu, menemukan bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah biang kerok penyebab penyakit TB.

Sejak penemuan Koch itu, TB tetap saja menjadi beban global yang menginfeksi 10 juta orang baru setiap tahun. Dua per tiganya ditemukan di antara populasi negara-negara G20 dan membunuh lebih dari 4.100 orang setiap hari.

Meskipun bisa dicegah dan diobati, penyakit TB masih mengintai masyarakat. Di Indonesia, pada Tahun 2020 tercatat jumlah kasus TB mencapai 824.000 kasus, sementara jumlah kematian akibat TB mencapai 93.000 kasus setiap tahunnya.

Data ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus nomor tiga terbanyak di dunia setelah India dan China.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, investasi cerdas yang dibutuhkan adalah meningkatkan jaringan kolaboratif dan kemitraan multilateral. Baik skala nasional maupun internasional. Dengan begitu, diharapkan dapat dikembangkan diagnosa, vaksin, terapi dan sistem surveilans TB yang cukup efektif dan efisien.

Sebagai tuan rumah Presidensi G20, Indonesia mempromosikan penguatan arsitektur kesehatan global dan mengadvokasi layanan TB esensial, di mana negara G20 dapat meningkatkan surveilans TB di antara pasien suspek, kontak dekat dan populasi berisiko tinggi.

Menurut Budi, setidaknya terdapat tiga langkah dalam memerangi TB. Pertama, meningkatkan surveilans TB di antara pasien suspek, kontak dekat dan populasi berisiko tinggi.

Penemuan kasus berbasis risiko dan proaktif untuk pasien TB klinis dan subklinis sangat penting, dengan mendekatkan alat diagnostik ke masyarakat, termasuk melalui x-ray dan teknologi molekuler.

Kedua, meningkatkan penggunaan obat regimen yang lebih pendek dan pengobatan pencegahan TB (TPT) untuk memaksimalkan dampak.

Regimen baru adalah kesempatan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan, pengobatan yang berpusat pada orang, dan mengurangi efek samping obat.

Ketiga, berinvestasi secara memadai dan berkelanjutan dalam penelitian dan pengembangan vaksin TB yang lebih baik. Diharapkan, vaksin TB yang efektif tersedia pada Tahun 2025. Sehingga dunia dapat mengakhiri penyakit menular ini pada Tahun 2030.

Peran posyandu

Dalam rangka mengeliminasi TB, Kementerian Kesehatan RI tengah berupaya meningkatkan peran pos pelayanan terpadu (posyandu), dengan melakukan surveilans TB. Saat ini, layanan posyandu hanya untuk kesehatan ibu dan anak.

Untuk melakukan surveilans TB, minimal harus ada 300.000 titik di seluruh Indonesia. Artinya, surveilans harus dilakukan di level posyandu, karena jumlahnya cukup banyak di Indonesia.

Jumlah posyandu di Indonesia saat ini mencapai sekitar 296.000. Sehingga dianggap efektif untuk melakukan surveilans hingga sampai akar rumput, karena dapat menjangkau 512 kabupaten kota, 80 ribu desa.

Surveilans merupakan tindakan promotif dan preventif suatu penyakit agar tidak menyebar lebih luas.

“Yang namanya surveilans penyakit itu, tidak boleh ada insiden, baru kita surveilans. Jadi ada penyakit atau tidak, pandemi atau tidak, harusnya surveilans terus dilakukan,” katanya.

Dengan surveilans hingga akar rumput diharapkan dapat membuat masyarakat sehat. Sehingga dapat mengurangi upaya kuratif, yakni upaya kesehatan yang dilakukan untuk mencegah penyakit menjadi lebih parah melalui pengobatan.

“Saat ini anggaran kita, waktu kita lebih banyak ngurusin rumah sakit, obat-obatan serta alat-alat rumah sakit. Itu sifatnya kuratif, kami maunya promotif dan preventif,” tuturnya.

Selayaknya Covid-19, upaya penanggulangan TB oleh pemerintah akan dilakukan dengan testing dan pelacakan di masyarakat melalui posyandu-posyandu yang tersebar di seluruh Indonesia.

Menkes ingin berbagai praktik baik dalam penanganan dan penanggulangan pandemi Covid-19, bisa diadopsi dalam pengendalian TB.

Indonesia dapat memanfaatkan infrastruktur, alat diagnosis, vaksinasi serta penggunaan teknologi kesehatan pada pandemi Covid-19 untuk diaplikasikan dalam mengeliminasi TB.

“Jadi dengan pandemi ini kita belajar bagaimana bisa memperbaiki penanganan penyakit menular,” ucapnya.

Untuk memudahkan proses deteksi, Kemenkes sedianya bakal memberikan alat skrining TB kepada posyandu, berupa rapid test, seperti yang digunakan untuk mengidentifikasi Covid-19.

“Teknologi kesehatan berkembang, dulu kan alat skrining itu labnya harus fisik, sekarang bisa dengan rapid test, seperti tes Covid-19,” tuturnya.

Layanan X-ray

Dalam rangka mengeliminasi TB, Kemenkes juga akan memperluas layanan mobile X-ray untuk mengintensifkan pelacakan kasus aktif di masyarakat.

Layanan mobile X-ray kali pertama diinisiasi oleh Zero TB Yogyakarta bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk melakukan pelacakan kasus TB di wilayah setempat dan Kabupaten Kulon Progo, yang saat ini memiliki angka kasus cukup tinggi.

Ketua proyek Zero TBC Yogyakarta Rina Triasih mengakui upaya penemuan kasus TBC di Yogyakarta masih belum optimal.

Dibutuhkan dukungan dan kolaborasi dari masyarakat, pemangku kepentingan setempat serta pemerintah agar pelacakan kasus bisa segera ditemukan, sehingga tidak menjadi sumber penularan di tengah masyarakat.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, perluasan skrining bergerak TB menyasar tujuh provinsi, yakni Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.

Dia mengatakan, temuan kasus aktif melalui mobile X-ray dilakukan dengan pemeriksaan menggunakan rontgen dada. Hal ini untuk melihat apakah pasien memiliki indikasi menderita TBC atau tidak.

Apabila teridentifikasi TB, kata Dante, pasien langsung ditangani oleh petugas kesehatan untuk selanjutnya diberikan pengobatan.

Tantangan mengeliminasi TBC di Indonesia memang cukup besar. Apalagi ditambah pandemi Covid-19 yang cukup berpengaruh terhadap pengendalian TB.

Meski demikian, tantangan besar itu bukan sesuatu yang mustahil untuk ditaklukkan. Dengan upaya yang terstruktur dan melibatkan semua pihak, maka eliminasi TB di Indonesia tentunya dapat diwujudkan. [rnd]

Kunjungi website berita

Ada Pengecekan TBC Lewat Skrining X-ray Mobile, Masuk Mobil Langsung Difoto

Ada Pengecekan TBC Lewat Skrining X-ray Mobile, Masuk Mobil Langsung Difoto

TEMPO.COYogyakarta – Kementerian Kesehatan memperluas cakupan pengecekan pasien tuberkolusis atau TBC melalui skrining x-ray ke sejumlah daerah. Upaya ini bertujuan mempercepat eliminasi penyakit mematikan itu.

Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono mengatakan, skrining x-ray mobile segera menjangkau seluruh provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulon Progo di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah pertama uji coba.

Dante menjelaskan, melalui skrining x-ray, masyarakat tidak perlu ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan atau identifikasi TBC. “Mereka hanya perlu masuk ke mobil skrining x-ray lalu difoto,” kata Dante di sela acara G20 bertajuk “Penanggulangan Tuberkolusis: Mengatasi Disrupsi Covid-19 dan Membangun Kesiapsiagaan Pandemi di Masa Depan” di Hotel Hyatt Yogyakarta, Rabu, 30 Maret 2022.

Kementerian Kesehatan memilih penggunaan skrining x-ray mobile karena mampu mendeteksi tuberkulosis lebih dini. “Alat ini dapat mengetahui di mana ada infeksi TBC yang belum terdeteksi secara klinis,” ujarnya. Pemerintah mengadakan sebelas unit alat skrining x-ray dengan menggandeng penyedia jasa. Dinas kesehatan di setiap daerah menjadi pelaksana deteksi dini tersebut.

Kasus TBC yang terdeteksi melalui layanan kesehatan menurun, yakni 402.502 atau 49 persen kasus yang telah ditemukan. Di Yogyakarta, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Burnet Institute Australia dan Dinas Kesehatan menginisiasi proyek zero TB melalui skrining x-ray mobile untuk menemukan kasus TBC, pengobatan, dan memberi terapi kepada mereka yang berisiko dengan melibatkan berbagai pihak. “Yogyakarta jadi percontohan,” ujar Dante Saksono Harbuwono.

Proyek itu melibatkan partisipasi masyarakat supaya menyadari pentingnya skrining mobile x-ray. Skrining itu menyasar populasi umum yang terdapat kasus TBC, yakni orang-orang yang berkontak dengan penderita tuberkulosis. Petugas kesehatan datang ke tempat-tempat berkumpul, seperti pasar, pondok pesantren, dan lembaga pemasyarakatan.

Skrining mobile ini meningkatkan penemuan kasus TBC yang akan diperiksa dengan tes laboratorium sebelum dikonfirmasi sebagai tuberkulosis. Puskesmas mengambil peran penting dalam diagnosa dan pengobatan pasien TBC. Mereka juga memutuskan pengobatan dan pencegahan bagi yang beresiko.

Di komunitas, kader TBC berperan mendampingi pasien dan investigasi kontak sebagai tindak lanjut penemuan pasien tuberkulosis. Contoh skrining x-ray mobile berlangsung di kampung Bintaran, Kota Yogyakarta. “Jangan takut periksa kesehatan,” kata Ketua Kampung Bintaran, Andi Maulana.

Di Kota Yogyakarta, dari 23.329 yang diskrining, pertugas menemukan 286 kasus TBC. Di Kulon Progo, dari 24.713 yang diskrining, terdapat 191 kasus. Di daerah lain, deteksi dini TBC berlangsung di Bekasi, Bogor, dan Bandung.

Sejalan dengan Dante, para ahli tuberkolusis mendorong penggunaan teknologi digital untuk memperbaiki penanganan penyakit tersebut. Epidemiolog dan ahli TBC dari Departemen Kesehatan Global Universitas Washington, Amerika Serikat, Peter Small mengatakan, teknologi digital yang berkembang pesat bisa bermanfaat untuk mendiagnosis TBC sehingga orang mendapatkan informasi yang jelas dan terpercaya. Teknologi nirkabel itu bisa diterapkan untuk model perawatan dan penyembuhan pasien.

Dia mencontohkan India sebagai negara di peringkat pertama kasus tuberkulosis terbanyak. Di sana, pemerintah mengembangkan prosedur dan teknologi digital untuk menangani pasien TBC. “Harus berpacu dengan dengan waktu dan proses penyembuhan pasien,” kata dia.

Kunjungi website berita

Perkuat Penapisan untuk Memutus Rantai Penularan Tuberkulosis

Perkuat Penapisan untuk Memutus Rantai Penularan Tuberkulosis

KULON PROGO, KOMPAS — Situasi pandemi telah membalikkan kemajuan eliminasi tuberkulosis selama beberapa tahun terakhir seiring dengan peningkatan angka kematian akibat penyakit menular tersebut. Untuk itu, strategi pengendalian tuberkulosis akan diubah dengan mengerahkan sumber daya yang selama ini menangani Covid-19.

Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, saat berkunjung ke lokasi penapisan tuberkulosis di Balai Desa Giripurwo, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (29/3/2022), surveilans untuk menemukan kasus tuberkulosis (TBC) mesti diperkuat. Penemuan kasus itu untuk mencegah penularan terhadap orang yang kontak erat dengan penderita.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun beban infeksi tuberkulosis atau TBC secara global mencapai 10 juta kasus baru setiap tahun, dan dua pertiga di antara mereka ditemukan di negara-negara anggota G20, termasuk Indonesia.

Tuberkulosis juga membunuh lebih dari 4.100 orang setiap tahun. Saat ini, investasi global dalam respons dan riset belum menjangkau sekitar 30 persen penderita TBC yang tidak bisa mengakses sistem layanan kesehatan dan putus berobat.

Ket. gambar: Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meninjau lokasi penapisan tuberkulosis yang dilakukan tim Proyek Zero TB Yogyakarta, di Balai Desa Giripurwo, Kabupaten Kulon Progo, Selasa (29/3/2022).

Terkait hal itu, transformasi layanan primer di puskesmas mesti dilakukan dengan fokus pada upaya promotif dan preventif. “Jadi bisa dengan penapisan secara dini, termasuk tuberkulosis, untuk mencegah penularan. Selama ini anggaran kita lebih banyak untuk upaya kuratif (pengobatan) pasien,” kata Budi Gunadi.

Baca juga: Ancaman Mematikan Penyakit Tuberkulosis

Dengan demikian, nantinya sumber daya yang menangani Covid-19 juga akan dikerahkan untuk surveilans tuberkulosis. “Surveilans TBC perlu dibenahi dengan melacak terduga, kontak erat, dan populasi berisiko tinggi, dan proaktif menemukan kasus, dengan mendekatkan alat diagnostik ke masyarakat, termasuk sinar-x dan teknologi molekuler,” tuturnya.

Surveilans TBC perlu dibenahi dengan melacak terduga, kontak erat, dan populasi berisiko tinggi, dan proaktif menemukan kasus, dengan mendekatkan alat diagnostik ke masyarakat.

Pelacakan kasus secara masif tersebut harus memanfaatkan jejaring di masyarakat sampai tingkat akar rumput. Ada sekitar 300.000 titik harus dilacak atau dipantau untuk memperkuat upaya penemuan kasus. Itu bisa dilakukan tidak hanya mengandalkan petugas puskesmas, tetapi juga melibatkan 296.000 posyandu yang ada di daerah-daerah.

Selain itu, penggunaan regimen obat yang lebih pendek dan pengobatan pencegahan TBC perlu diperluas untuk memaksimalkan dampaknya bagi kesehatan. Regimen baru menjadi peluang untuk meningkatkan pengobatan sampai tuntas dan mengurangi angka putus berobat yang berisiko menimbulkan resistensi kuman TBC terhadap obat-obatan yang ada.

Ket. gambar: Tenaga kesehatan mewawancarai seorang warga terkait ada atau tidaknya gejala Covid-19 dan tuberkulosis dalam kegiatan penapisan tuberkulosis yang digelar tim Proyek Zero TB, di Balai Desa Giripurwo, Kabupaten Kulon Progo, Selasa (29/3/2022).

Penapisan

Di Kabupaten Kulon Progo yang menjadi salah satu lokasi uji coba proyek TB Zero, penapisan kasus tuberkulosis dilakukan berkeliling dilengkapi alat diagnostik seperti x-ray portable dan memanfaatkan kecerdasan buatan. Berkolaborasi dengan sejumlah pihak terkait, termasuk Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada, surveilans dilakukan secara intensif sejak tahun 2020.

Direktur Proyek TB Zero Daerah Istimewa Yogyakarta Rina Triasih menyatakan, proyek itu menggunakan pendekatan komprehensif. Jadi, tidak hanya menemukan dan mengobati pasien sampai sembuh, tetapi juga mencegah penularan dengan memakai mobil rontgen. Tim berkeliling ke desa-desa untuk mendekatkan akses layanan pemeriksaan TBC kepada masyarakat.

Baca juga: Eliminasi TBC Butuh Komitmen Investasi Global

Hasil pemeriksaan rontgen dan pengambilan sampel dahak kemudian dianalisis dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Pasien yang positif TBC dari hasil penapisan lalu dirujuk untuk berobat ke puskesmas. Selain itu, ada tim yang bertugas menginvestigasi kontak erat yang serumah dengan penderita TBC untuk memutus rantai penularan penyakit tersebut.

Ket. gambar: Tenaga kesehatan memasukkan data hasil rontgen warga di mobil sinar-x, dalam kegiatan penapisan tuberkulosis yang digelar tim Proyek Zero TB, di Balai Desa Giripurwo, Kabupaten Kulon Progo, Selasa (29/3/2022).

Pada Selasa (29/3/2022), sejumlah warga berdatangan ke Balai Desa Giripurwo, Kulon Progo. Setelah mendaftar ke meja pendaftaran, mereka diminta menjawab beberapa pertanyaan terkait apa ada gejala Covid-19 dan tuberkulosis. Lalu mereka menjalani tes rontgen dada di dalam mobil. Jika hasil rontgen dicurigai TBC, warga diminta menjalani pengambilan dahak.

”Kami melaksanakan pelatihan kader muda, membuat website, dan media sosial, ada database elektronik, dan memakai kecerdasan buatan untuk penapisan. Kami juga memiliki grup Whatsapp untuk diskusi kasus pendampingan,” kata Rina. Di dua kecamatan di (Kota) Yogyakarta dan (Kabupaten) Kulon Progo yang jadi lokasi uji coba proyek itu, surveilans kasus menjadi meningkat tajam.

Namun, program itu menghadapi sejumlah tantangan. Selain keberlanjutan pendanaan program, dokter di puskesmas kesulitan mendiagnosis warga dengan hasil pemeriksaan positif TBC tetapi lesi tidak khas, pasien di masyarakat umum juga mempunyai lesi awal dan kandungan bakteri lebih rendah dibandingkan pasien yang berobat ke fasilitas kesehatan.

”Kami juga menghadapi tantangan geografis di tempat yang bus rontgen tidak bisa masuk sehingga membutuhkan alat x-ray portable,” kata Rina. Partisipasi masyarakat kota juga lebih rendah daripada di kabupaten. Tim juga kesulitan meyakinkan warga yang terdeteksi terpapar TBC untuk mulai pengobatan karena tidak ada gejala klinis.

Kunjungi website berita

Pin It on Pinterest