Kulon Progo – Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebut penyakit tuberkulosis (TB/TBC) jauh lebih mematikan daripada COVID-19. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini juga menjadi salah satu pemicu balita mengalami kondisi gagal tumbuh atau stunting.
“TB itu membuat kematian melebihi COVID, dan pada masa COVID ini (penderita) TB banyak yang putus minum obatnya. Karena TB itu harus minum obat 6 bulan full, beda dengan COVID yang singkat dan cepat. Nah, begitu ada COVID banyak yang tidak kontrol (TB) sehingga putus minum obatnya,” kata Hasto dalam kegiatan skrining TBC terhadap balita stunting yang digelar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) di Puskesmas Pengasih II, Kulon Progo, DIY, Sabtu (26/3/2022).

Lebih mematikannya TBC dibandingkan COVID-19, seperti yang disampaikan Hasto, itu merujuk pada data Global TB Report 2021. Berdasarkan laporan tersebut, diketahui bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita penyakit TBC. Jumlah kasus TBC di Indonesia mencapai 824 ribu dengan kematian 93 ribu tiap tahunnya, atau tiap jam ada sekitar 11 kematian akibat TBC.

Selain membuat banyak pasien TBC putus obat, Hasto berujar, pandemi COVID-19 juga menyebabkan program pemberian vaksin Bacille Calmette-Guérin (BCG) untuk tuberkulosis kepada balita menjadi tersendat. Walhasil, balita jadi rentan terjangkit TBC, yang mana salah satu efeknya memicu stunting.

“Nah anak-anak kecil-kecil itu harusnya juga sudah divaksin BCG. Tapi begitu ada COVID, vaksin BCG ikut menurun, akhirnya anak-anak banyak yang kena TB,” ujar Hasto.

Ciri terkena TB itu di antaranya sering batuk pilek, sering demam, dan susah makan. “Berat badannya enggak naik. Begitu beratnya ggak naik 3 bulan berturut-turut, maka panjang badannya juga nggak naik. Begitu panjang badan nggak naik, jadinya stunting,” jelasnya.

Kini pemerintah sedang berupaya menurunkan kasus stunting di Indonesia. Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) 2021, prevalensinya masih pada angka 24,4 persen atau 5,33 juta balita.

BKKBN pun berkolaborasi dengan IDAI dan Zero TBC Yogyakarta untuk mengadakan skrining TBC pada balita stunting, salah satu lokasinya di Kulon Progo.

“Meskipun Kulon Progo sebenarnya terendah stunting, tapi masih ada 12 persen (balita stunting). Nah 12 persen itu jika dihitung minimal ada 2.500-an balita. Adanya TB ini bisa menyebabkan stunting. Jadi harus diwaspadai,” ucap Hasto.

Kegiatan skrining TBC terhadap balita stunting di Puskesmas Pengasih II, Kulon Progo, DIY, Sabtu (26/3/2022). Foto: Jalu Rahman Dewantara/detikJateng
Ketua UKK Respirologi IDAI sekaligus Project Leader Zero TBC Yogyakarta, Rina Triasih, mengatakan kegiatan skrining TBC terhadap balita stunting ini merupakan bagian dari peringatan Hari TBC Sedunia yang jatuh pada 24 Maret 2022.

“Kegiatan ini untuk membantu pemerintah dan mengintegrasikan dua masalah kesehatan yang saat ini begitu signifikan di Indonesia yaitu masalah TBC dan stunting,” ujar Rina.

Rina mengatakan, tiap balita yang menderita stunting berpotensi terjangkit TBC begitu pun sebaliknya.

“Secara teori, anak stunting itu punya daya tahan tubuh yang rendah, utamanya yang disertai gizi buruk. Itu akan berisiko memicu TBC,” ucapnya.

“Salah satu gejala TBC itu kurang gizi, anak sulit makan, berat badan tidak naik. Ini kalau dibiarkan berisiko stunting,” sambungnya.

Baca sumber berita di sini

Pin It on Pinterest

Share This